Penulis: Nurwina Sari
Penerbit: Coconut Books (Koloni - Mizan)
Tahun Terbit: 2024
" Dia terlalu tinggi, dan saya tidak akan pernah sampai"
"Gue nggak mau pacaran, tapi kapan pun dia butuh, gue ada." Ucap Razi.
“Pada episode kehidupan selanjutnya, aku pasti masih akan memohon agar kita tetap bertemu.”
Prolog:
Cari tempat dimana kamu di hargai, bukan dibutukan" kata Genta.
" cari orang yang mencintai kamu,bukan yang kamu cintai," lanjut Bunga.
Ya, mereka berpendapat atas film yang baru saja selesai, film yang menemani jam kosong di mata pelajaran pertama. Di mana, pada cerita itu, ada seorang tokoh utama perempuan, yang terlalu mendewakan perasaannya atas segala-galanya. Fokus pada satu orang yang ia cintai namun menyakitinya.
Ilusi kemudian memberontak dari tempat duduknya ketika mendengar kalimat terakhir. Mengejar Genta dan Bunga yang ingin ke kantin, "Nggak, aku nggak sepakat."
"Memilih untuk mencintai duluan, dan mempertahankan perasaan itu hingga akhir, nggak begitu buruk."
"Karena bagi aku, aku ingin hidup, dengan apa-apa yang aku cintai. Bukan yang mencintai aku. Karena resikonya, adalah aku yang belum tentu akan bahagia."
Bunga tersenyum tipis, masih terbawa suasana film yang mereka tonton, "Perasaan sepihak, mau sampai kapanpun, nggak akan pernah membawa kebahagiaan. Di bumi, banyak yang memilih selesai dengan rasanya, dibanding harus mengorbankan diri."
"Kita bisa mengusahakannya lagi," lawan Ilusi, percaya diri.
"Berusaha untuk apa? untuk memperpanjang episode mengemis?" tanya dua orang itu. "Cinta juga punya tata kramanya. Jangan menawarkan apalagi meminta sesuatu pada orang yang nggak butuh, atau nggak punya. Nggak sopan namanya."
Ilusi menarik nafasnya, "Kamu berpikir kayak gitu, karena kamu nggak pernah ngerasain gimana rasanya jatuh cinta, yang benar-benar jatuh. Dimana, kamu sakit, tapi kamu senang."
Ketiga siswa itu berbelok, memasuki kantin yang sedang ramai-ramainya. Tidak ingin bertahan lama dengan pikiran yang berlebihan tentang film itu. Mereka sepakat untuk mengambil antrian di depan gerai jus. Ilusi dengan jus jeruk favoritnya, Bunga dengan jus buah naga. Dan, Genta dan jus apelnya. Bunga hanya mereka, ada beberapa siswa juga yang antri menunggu pesanan.
Cukup lama berdiri di sana, dan merasa panas dengan suasana kantin yang semakin ramai, Ilusi berdiri tidak tenang, dengan gerak tubuh yang ikut tidak tegap. Perlahan, kakinya mundur dan maju, sampai akhirnya, di pergerakan selanjutnya, tubuhnya terbentur dengan badan seseorang di belakang. Di dada bidang laki-laki itu, ada kepala dan pundak Ilusi yang bertumpu.
"Eh, sorry, sorry," Ilusi memutar kepalanya cepat, melihat ke belakang. Ditatapnya laki-laki yang punya tinggi badan lebih tinggi darinya, kulitnya agak putih, matanya berirama, meski hanya sorot kaku dan dingin yang Ilusi temukan. Sampai pada detik ke empat yang membuat keduanya mengakhiri tatapan itu.
Sempurna membalikkan badannya, Ilusi kembali minta maaf, "Gue nggak tahu kalau ada orang di belakang. Maaf, ya."
Yang jadi lawan bicara Ilusi hanya setengah mengangguk, lalu melangkah maju ke depan. Dia Razi. Ilusi tahu itu, meski berbeda kelas. Razi itu terkenal, entah dari segi pertemanan, keluarga, maupun prestasi non akademiknya.
Sinopsis:
Razi adalah kapten tim basket SMA Andromeda yang dikenal dingin, perfeksionis, dan tidak percaya pada cinta. Ia lebih memilih fokus pada masa depan dan menjaga keluarganya. Namun, hidupnya berubah saat bertemu Ilusi—gadis yang jago basket tapi menyimpan trauma masa lalu. Ilusi bukan hanya menantang pandangan Razi tentang cinta, tapi juga perlahan-lahan membuka pintu hati yang selama ini tertutup.
Mulai dari kecelakaan di kantin yang mempertemukan mereka, Ilusi dan Razi perlahan membangun hubungan—dari teman, menjadi lebih dari itu.
Pertemuan dengan Ilusi membuat Razi membuka diri: mengerti bahwa hidup bukan hanya soal cita-cita, tapi juga tentang cinta dan perasaan sejati. Ia belajar menerima sisi emosional dan cinta sejati yang sebelumnya ia tolak.
Konflik utama novel berkisar pada perjuangan Ilusi dan Razi untuk saling memahami dan bertahan menghadapi trauma masa lalu. Mereka tumbuh bersama, hingga akhirnya hubungan itu mencapai titik yang membuat Razi meredefinisi kehidupan dan masa depannya—bukan cuma soal basket, tapi juga soal cinta, kebahagiaan, dan komitmen.
Komentar
Posting Komentar